Senin, 29 Agustus 2011

Resume Buku 2







Bagian Dari Diri Kita

Si Sederhana dan Si Rumit

Empat tokoh imajiner yang ada dalam cerita ini – si tikus; ” Sniff(Endus)” dan ”Scurry(Lacak)” dan si kurcaci; ”Hem(Kaku)” dan ”Haw(Aman)” – dimaksudkan untuk mewakili bagian dari diri kita, baik yang sederhana maupun yang rumit, tanpa membedakan usia, jenis kelamin, ras dan kebangsaan.

Kadang kita bertindak seperti Sniff yang mampu mencium adanya perubahan dengan cepat, atau Scurry Yang segera bergegas mengambil tindakan, atau Hem, yang menolak serta mengingkari adanya perubahan karena takut perubahan akan mendatangkan sesuatu yang buruk, atau Haw, yang baru mencoba beradaptasi jika ia melihat perubahan mendatangkan sesuatu yang lebih baik! Bagian dari mana pun yang kita pilih, kita mempunyai ciri yang sama; kebutuhan untuk menemukan jalan dalam labirin, dan sukses mengatasi perubahan yang kita hadapi.

Kisah di balik cerita

”Who Moved My Cheese?”
Adalah kisah tentang perubahan yang terjadi dalam sebuah Labirin di mana empat tokoh sangat menarik pergi mencari ”Cheese”. Cheese di sini adalah perumpamaan akan hal-hal yang kita inginkan di dalam hidup ini, baik pekerjaan, hubungan baik, uang, pengakuan, ketentraman batin, atau bahkan kegiatan seperti lari pagi, atau golf.

Kita masing-masing mempunyai ide sendiri tentang Cheese tersebut, dan kita mengejarnya karena kita yakin hal itu akan membuat kita bahagia. Jika kita mendapatkannya, kita sering menjadi terikat. Dan jika hal tersebut hilang atau disingkirkan, bisa menjadi hal yang traumatis bagi kita.

”Labirin” mewakili tempat di mana Anda menghabiskan waktu untuk mendapatkan apa yang Anda inginkan. Bisa jadi berupa perusahaan di mana Anda bekerja, lingkungan masyarakat Anda tinggal, atau hubungan baik yang telah Anda bina sampai saat ini.

Suatu ketika di Zaman dulu, hidup empat tokoh yang berlarian di dalam Labirin mencari cheese untuk kesejahteraan dan kebahagiaan mereka.

Dua diantaranya adalah tikus yang bernama ”Sniff” dan ”Scurry”, dua lainnya adalah kurcaci sebesar tikus yang berpenampilan dan bertingkah laku sama seperti manusia pada saat ini. Namanya adalah ”Hem” dan ”Haw”.

Karena ukuran mereka yang kecil, dengan mudah terlewatkan apa yang sedang mereka lakukan. Namun jika kita lihat lebih dekat, Anda akan menemukan hal yang sangat luar biasa!

Tikus-tikus, Sniff dan Scurry, menggunakan metode Trial and Error dalam mencari cheese. Mereka berlari ke satu lorong dan jika ternyata kosong, mereka akan berbalik dan mulai mencari di lorong yang lain. Mereka mengingat lorong mana saja yang tidak menyimpan cheese dan dengan cepat pindah ke daerah lain.

Sementara itu kedua kurcaci, Hem dan Haw, menggunakan otak mereka, yang di penuhi dengan berbagai dogma dan emosi, mencari Cheese yang berbeda – yaitu Cheese dengan C besar – yang mereka percaya sebagai pembawa kebahagiaan dan kesuksesan.

Sama seperti tikus, kedua kurcaci, Hem dan Haw, juga menggunakan kemampuan berfikir dan belajar dari kemampuan mereka. Namun mereka bergantung pada otak mereka yang kompleks dalam mengembangkan metode menemukan cheese.

Kadang mereka berhasil, namun seringkali kepercayaan dan emosi manusiawi mereka yang kuat mengambil alih dan mengaburkan cara mereka melihat suatu permasalahan. Hal itu menyebabkan hidup di labirin menjadi semakin rumit dan penuh tantangan.

Walupun begitu mereka semua, Sniff, Scurry, Hem, dan Haw menemukan cara masing-masing dalam mencari apa yang mereka inginkan. Pada suatu hari, mereka menemukan cheese kesukaan mereka di salah satu ujung lorong Cheese Station C.

Sniff dan Scurry tetap dengan kebiasaan bangun pagi mereka dan langsung berlari ke dalam labirin, dan selalu mengikuti rute yang sama begitu sampai di tujuan, kemudian mereka menikmati cheese.

Namun Hem dan Haw bangun sedikit lebih siang, berpakaian sedikit lebih lama, dan kemudian baru berjalan ke Cheese Station C. Sekarang mereka sudah tahu di mana letak Cheese Station C dan jalan menuju ke sana.

Mereka tidak tahu dari mana datangnya Cheese itu dan siapa yang menempatkannya di sana. Mereka hanya berasumsi bahwa Cheese itu pasti ada di sana.

Supaya lebih nyaman, Hem dan Haw menghias dinding-dinding tempat itu dengan berbagai pepatah bahkan menggambar gambar Cheese di sekelilingnya yang membuat mereka tersenyum. Salah satunya tertulis: Hal ini berjalan sampai beberapa saat.

Dalam waktu singkat keyakinan Hem dan Haw pun berubah menjadi kesombongan akan keberhasilan mereka. Segera mereka terjebak dalam kenyamanan sehingga tidak menyadari apa yang sedang terjadi.

Suatu pagi di Cheese Station C dan melihat tidak ada lagi cheese di sana, akan tetapi bagi Sniff dan Scurry itu sama sekali tidak membuat mereka heran, karena mereka sudah memperhatikan bahwa simpanan cheese tersebut semakin hari semakin menipis belakangan ini. Mereka sudah siap dengan keadaan ini, dan secara insting tahu apa yang harus mereka lakukan

Tikus tidak melakukan analisis yang berlebihan. Bagi tikus, masalah dan pemecahannya sama sederhananya. Situasi di Cheese Station C sudah berubah. Maka Sniff dan Scurry memutuskan untuk berubah juga.

Dengan cepat mereka berangkat untuk menemukan Cheese baru. Sementara Sniff dan Scurry bergerak dengan cepat, Hem dan Haw hanya mengomel dan termenung-termenung saja.

Demikianlah cerita yang telah saya rangkum karena cerita yang sebenarnya masih sangat panjang, tetapi walaupun hanya sepenggal ceritanya tapi kita akan menemukan bahwa kedua ekor tikus lebih bisa menghadapi perubahan yang terjadi, karena mereka tidak memperumit permasalahan. Sedangkan kedua otak canggih dan emosi manusiawi para kurcaci mempersulit keadaan yang ada. Hal ini bukan karena tikus lebih pintar dari manusia. Kita semua tahu bahwa manusia jauh lebih cerdas di banding tikus.

Namun demikian, saat Anda memperhatikan apa yang dilakukan oleh keempat tokoh tersebut, dan menyadari bahwa keempatnya mewakili bagian dari diri kita – yang sederhana dan rumit – Anda akan setuju bahwa kita akan lebih beruntung jika kita bertindak secara sederhana dalam menhadapi perubahan.

Sumber :
Spencer Johnson M.D, Who Moved My Cheese, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 200, 104 halaman.

ON MISSION AND LEADERSHIP


On Mission and Leadership adalah buku karya Frances Hesselbein dan Rob Johnton yang secara khusus menggali tentang peran vital misi dalam kepemimpinan. Sebagai bagian dari Leader to Leader Guide, yang merupakan inspirasi dan informasi dari para pemikir terkenal, buku ini menghadirkan para pemikir top tentang kepemimpinan yang memberi inspirasi, visi dan manajemen yang fokus pada misi.
Menurut Hesselbein (2002), saat ini para pemimpin, baik di bidang bisnis, sektor nirlaba, maupun pemerintahan, belajar untuk berbicara dengan istilah yang dapat diketahui secara umum. Istilah ini adalah istilah yang terkait dengan visi (VISION), nilai (VALUS) dan misi (MISSION) organisasi, tentang strategi yang berdasarkan ketiga hal tersebut, tentang pelayanan kebutuhan konsumen; apapun tujuan, produk atau pelayanan yang diberikan oleh organisasi tersebut.


Keunggulan Dari Kepemimpinan (Warren Bennis)


Modal intelektual adalah asset suatu organisasi. Seorang pekerja yang berpengetahuan akan mencari arti dan tujuan, iklim kepercayaan, ras optimis dan hasil dari apa yang dikerjakannya. Untuk mempertahankan dan memberi motivasi kepada pekerja senacam ini, tidak hanya diperlukan kemampuan teknis, pemikiran strategis dan kecakapan dari seorang pemimpin; tetapi juga diperlukan kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengolah bakat. Selain itu juga diperlukan pertimbangan dan karakter yang baik dari seorang pimpinan.


Atribut Seorang Pemimpin Yang Berkualitas;


1. Kecakapan Teknis, yaitu mengerti tentang bisnis dan memahami salah satu bidang.


2. Kecakapan Konseptual, kemampuan untuk berpikir abstrak atau strategis.


3. Track Record, mengetahui secara pasti mengenai hasil yang dicapai.


4. Keterampilan Pribadi, mencakup pada kemampuan untuk berkomunikasi, memotivasi dan mendelegasikan.


5. Citarasa, kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengoleh bakat.


6. Pertimbangan, kemampuan untuk mengambil keputusan yang sulit berdasarkan data yang tidak lengkap dalam waktu singkat.


7. Karakter, kualitas yang menyatakan siapa diri kita.


Karakter seorang pemimpin yang efektif harus dapat memenuhi harapan karyawannya. Oleh sebab itu pemimpin harus mempunyai ;


1. Tujuan yang jelas, pemimpin yang efektif akan memberikan semangat, pandangan ke depan dan arti dalam proses menentukan tujuan perusahaan.


2. Membangkitkan dan mempertahankan kepercayaan, faktor-faktor yang membangun kepercayaan, baik dalam pekerjaan, kerjasama, maupun pertemanan adalah : kompetensi, kesetiaan, perhatian, keterusterangan dan harmoni.


3. Mengembangkan harapan, harapan memadukan keteguhan seseorang dan kemampuan untuk menggunakan perangkat yang dimiliki untuk mencapai tujuannya. Optimisme yang sangat besar, yang membantu membangkitkan kekuatan dan komitmen yang diperlukan untuk mencapai tujuan organisasi. Pemimpin yang penuh harapan akan memiliki pernyataan seperti :

* Saya berpikir bagaimana caranya untuk keluar dari kemacetan.
* Saya bekerja denga penuh semangat untuk mencapai tujuan.
* Pengalaman memimpin yang saya peroleh telah mempersiapkan untuk mampu menghadapi masa depan.
* Banyak cara untuk menyelesaikan masalah tetapi tidak meninggalkannya.

4. Memperoleh hasil, seorang pemimpin yang realistis akan menggunakan waktu dan sumber daya yang dimiliki untuk mendapatkan hasil.
Pemimpin yang berorientasi kepada hasil, berharap dapat mencapai sesuatu yang besar, dan menyadari bahwa mereka membutuhkan bantuan orang lain. Mereka akan membawa semangat, kekuatan besar, toleransi terhadap resiko. Dan pemimpin yang baik percaya bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk memberikan kesempatan bagi seseorang untuk tumbuh dan menciptakan lingkungan yang membuat orang tetap belajar.
Kecerdasan Emosional Seorang Pemimpin (Daniel Goleman)
Bagi seorang pemimpin yang sukses, kecerdasan emosional merupakan hal yang penting dari pada IQ atau keterampilan teknik. Yang termasuk dalam kecerdasan emosional adalah kepedulian terhadap diri sendiri, kemampuan untuk mengelola emosi dan desakan hati, kemampuan untuk memotivasi orang lain, kemampuan untuk memperlihatkan empati dan kemampuan untuk menjaga hubungan. Seorang pemimpin yang sukses memilih untuk memberi penghargan terhadap karyawannya berdasarkan kecerdasan emosi yang mereka miliki.
Mereka juga berusaha untuk mengembangkan kecerdasan emosional karyawan dalam rangka meningkatkan kemampuan dalam pengambilan keputusan, kemampuan untuk melihat jangka panjang dan serangkaian perilaku produktif lainnya.
Ada lima demensi kecerdasan emosional yang merupakan dasar kecakapan kepemimpinan :

1. Kesadaran terhadap diri sendiri, yaitu kemampuan kepemimpinan yang didasari oleh kesadaran terhadap diri sendiri adalah kepercayaan diri, sehingga dapat memimpin dengan tegas, dengan kekuatan dimana hal itu merupakan sumber keberanian dalam kepemimpinan
2. Mengelola emosi, pemimpin yang efektif belajar bagaimana mengatasi perasaan, terutama tiga perasaan besar yaitu kemarahan, kegelisahan, kesedihan dan merasa tidak memiliki kemampuan. Mengelola emosi adalah persoalan pengendalian dorongan hati seseorang, dan hal itu merupakan ketrampilan hidup.
3. Memberi motivasi, mempunyai kemampuan memberikan motivasi berupa optimisme dengan melihat kebelakang sebagai kekuatan untuk melakukan perubahan dan selalu mencoba lagi.
4. Menunjukkan empati, empati merupakan dasar untuk mengatasi perbedaan yang ada di dalam tenaga kerja. Empati juga merupakan hal yang sangat diperlukan dalam memberi latihan yang efektif dalam mengembangkan orang lain. Empati adalah salah satu kunci dari ketrampilan kepemimpinan.
5. Menjaga hubungan, berpikir positif, menyelesaikan konflik, memahami arti hubungan, dengan kata lain, terampil dalam berhubungan dengan orang lain merupakan sesuatu yang memiliki kekuatan besar dalam memaksakan potensi dari sebuah tim.



Permasalahan Dengan Kerendahan Hati (Patrick Lencioni)


Seorang pemimpin yang tidak mampu menyatakan dirinya dan kurang memiliki karisma dapat mengalami kegagalan dalam menghasilkan kepercayaan. Seorang pemimpin berkarisma yang yakin bahwa dirinya lebih penting dari orang ain, secara perlahan akan kehilangan pengikut. Untuk menghasilkan kesetiaan dan kegairahan, seorang pemimpin perlu merangkaiakan hati dengan karisma. Kedua hal itu dapat dikembangkan melalui refleksi, umpan balik dan penekanan pada ketulusan.


Pemimpin yang karismatik yang mau duduk bersama masyarakatnya dan berdiskusi tentang naik-turunnya gaya kepemimpinan mereka, kemungkinan besar akan menjadi rendah hati oleh pengalamanpengalamannya. Tetapi karena mereka terbuk dan memasyarakat mereka akan lebih suka untuk mempertahankan sisi karismatiknya. Proses untuk menjadi rendah hati yang diketahui public dapat meningkatkan kemampuan seorang pemimpin untuk menjadi pemimpin yang karismatik karena hal itu menunjukkan keinginan untuk ketulusan.


Misi Sebagai Prinsip Dalam Organisasi (C. William Pollard)


Seorang pemimpin harus mampu mengkomunikasikan misi organisasinya kepada semua bagian yang ada dalam organisasinya. Misi merupakan titik referensi, pedoman dan sumber pengharapan pada masamasa perubahan. Jika dihubungkan dengan nilai-nilai manusia, akan memberikan tujuan dan arti kepada mereka yang memenuhi misi dan memberikan dorongan bagi kreativitas, produktivitas dan kualitas dalam pekerjaan serta pengembangan pribadi.


Banyak yang mengatakan bahwa pemimpin saat ini harus belajar untuk memprakarsai dengan cepat dan melakukan perubahan terus menerus melalui tindakan nyata. Perubahan semacam ini adalah kenyataan dalam hidup. Masalahnya orang yang memperbaiki organisasi tidak dipersiapkan untuk menghadapi perubahan yang cepat dan terus menerus. Dalam ketiadaan misi yang berarti dan tujuan yang melebihi perubahan dan memasukkan unsur perhatian serta memberdayakan orang, perubahan dapat membawa ketidaksinambungan, ketidaktepatan dan kemerosotan akhlak.


Dapatkah organisasi menjadi komunitas moral untuk membantu pembentukan karakter manusia dan perilaku masyarakat? Dapatkah misi menjadi prinsip dalam pengelolaan organisasi? seorang pemimpin harus mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, merupakan tugas pertama. Tugas pokok adalah menomorsatukan misi perubahan dan yang lebih penting adalah menghidupkan misi tersebut.


Seni Kepemimpinan Chaordic (Dee Hock)


Tanggung jawab utama seorang pemimpin adalah mengatur karakter, integritas, kerendahan hati, pengetahuan, kata-kata dan tindakan yang dimilikinya. Menyangkal pemikiran bahwa manajemen adalah suatu latihan bagi kekuasaan atas bawahan, kepemimpinan chaordic didasari atas dukungan yaitu, suatu respons yang bersifat suka rela terhadap tujuan yang jelas dan membangun dan memaksakan penerapan prinsip-prinsip etika.


Seorang pemimpin yang choardic memusatkan perhatiannya keatas, kesamping dan kebawah dengan sama baik. Mereka tidak mendekte; mereka mengubah kondisi-kondisi yang menghalangi munculnya sinergi dan penyempurnaan.


Kepemimpinan sejati dan perilaku yang membesarkan hati memiliki kecenderungan kearah yang lebih baik sedangkan tirani atau manajemen yang mendominasi dan perilaku yang memaksa memeliki kecenderungan kearah yang buruk.


Manusia bukanlah sesuatu untuk dimanipulasi, dimasukkan kedalam kotak dan diberi label kemudian dibeli dan terjual. Mereka bukanlah sumber daya manusia. Mereka adalah manusia yang mengisi keutuhan dunia yang berputar, tidak terbatas sampai kita mempelajari konsep pemimpin dan pengikut dengan kacamata baru. Kita harus mempelajari konsep tentang atasan dan bawahan dengan rasa skiptis yang lebih besar. Kita harus mempelajari keadaan organisasi yang membutuhkan perbedaan-perbedaan semacam itu dengan kesadaran yang benar-benar berbeda. Itulah sebenarnya yang dimaksud kepemimpinan yang dilakukan oleh setiap orang. Kepemimpnan choardic yang berada didalam, diatas, disekitar dan dibawah, yang sangat diperlukan oleh dunia ini dan yang tidak dapat diberikan oleh era indusri dan manajemen yang mendominasi.


Pengelolaan Yang Hati -Hati (Henry Mintzberg)


Pengelolaan yang hati-hati mengandung pemahaman bahwa seorang pemimpin bukanlah merupakan jumlah total dari organisasi. Pengelolaan yang hati-hati melibatkan tindakan yang memberikan inspiraasi, mendorong dan memampukan orang lain dengan membangun budaya keterbukaan, kepercayaan, kebersatuan dan daya. Pemimpin yang hati-hati tidak menonol, tetapi menarik dan interaktif. Mereka memelihara organisasinya dan menghabiskan waktu lebih banyak untuk mencegah timbulnya masalah dari pada mengatasi masalah. Merekamemasukkan nilainilai dan secara perlahan membawa perubahan yang sangat besar dimana semua orang ikut bertanggungjawab dan pada saat yang sama menjaga agar semuanya berjalan lancar, suatu peningkatan alami berjalan terus.


Mempertahankan Misi Organisasi (David M. Lawrence)


Dalam menghadapi tantangan persaingan dengan tetap mempertahankan misi sosialnya, ada 8 pelajaran yang diperoleh Kaiser Permante untuk organisasinya yang berdasarkan misi yaitu :


1. Menerapkan prinsip bisnis agar memperoleh kondisi yang baik;


2. Menurunkan biaya dengan cara meningkatkan kualitas secara terus menerus;


3. Menyusun arah strategis berdasarkan misi organisasi;


4. Melibatkan tenaga kerja dan bersikap terbuka terhada ide-ode baru;


5. Meluruskan struktur dan jalur perintah;


6. Mendorong inovasi dan fleksibilitas;


7. Bekerja sama dengan pihak-pihak terkait;


8. Mengintegrasikan pelayanan.


Menutup Jurang Pemisah Strategi Antargenerasi (Christopher Barlett)


Model manajemen lama yang dibangun disekitar strategi, struktur dan sistem harus diganti dengan model manajemen baru yang didasarkan pada tujuan, proses dan manusia. Sumber daya yang langka saat ini adalah pengetahuan dan keahlian dibandingkan dengan kelangkaan sumber dana dimasa lalu. Salah satu tugas dari seorang pemimpin adalah mendekati, memotivasi dan memelihara orang-orang yang ingin melakukan sesuatu yang berarti. Daripada mendasarkan organisasi pada hierarki penugasan dan tanggungjawab, akan lebih baik bila organisasi dibangun dengan tiga inti proses, yaitu:


1. Insiatif usaha dari bawah ke atas;


2. Menghubungkan dan meningkatkan asset dalam upaya mengembangkan, menyebarkan dan menerapkan inisiatif dan pengetahuan;


3. Memperbarui diri sendiri secara terus menerus.


Membangun Merek Kepemimpinan (Dave Ulrich)


Model umum atribut kepemimpinan hanya memberikan nilai yang tidak berarti. Merek kepemimpinan, keunggulan bersaing, terjadi pada saat pemimpin di setiap tingkat organisasi mengerti dengan jelas hasil-hasil utama yang diinginkan, kemudian mengembangkan pendekatan konsisten untuk mencapai hasil-hasil tersebut dan membangun atribut-atribut yang mendukung pencapaian hasil-hasil tersebut. Ini dapat berhasil jika atributatribut yang benar secara strategis dikaitkan dengan hasil-hasil yang diinginkan. Pelatihan kepemimpinan, penetapan kerja, input balik 360 derajat dan pemberian pelatihan harus difokuskan kepada atribut-atribut dan hasilhasil yang ingin dicapai.


Mengapa Visi Menjadi Hal Yang Penting (Robert Knowling)


Knowling memperdebatkan bahwa visi dan nilai-nilai membentuk perilaku organisasi dan mencetuskan tindakan strategis. Ia mengajukan langkah-langkah untuk menetapkan, mengartikulasikan dan menyebarkan visi dan nilai-nilai, yaitu:


1. Menilai organisasi, industri dan sector ekonomi,


2. Berbicara kepada karyawan baru,


3. Mencocokkan atribut-atribut dan usaha dengan hasil-hasil


4. Berhubungan dengan pelanggan, mitra kerja, dan karyawan garda depan.


5. Memimpin perubahan.


Kondisi-kondisi yang dapat merusak perubahan, yaitu :


1. Meremehkan Budaya. Budaya menentukan bagaimana orang-orang bekerja sama dan bagaimana respons mereka terhadap perubahan. Tidak ada pemimpin yang dapat berhasil tanpa mengenali dan membentuk norma-norma dalam kerja;


2. Menyatakan kemenangan. Apabila tidak bekerja untuk peningkatan yang sistematik dan kontinyu, organisasi akan segera kembali kebentuk semula. Kemenangan yang sejati seperti visi yang dipaksakan, tidak pernah benar-benar tercapai;


3. Membiarkan orang lain menarik nafas. Mengajak orang mau ikut dalam perubahan dan memberkan respons akan kegagalan. Kemudian menciptakan struktur dan proses berjalan untuk membuat perubahan menjadi dari bisnis;


4. Mendelagasikan proses perubahan. Seorang pemimpin harus berjalan diruang terbuka, menelepon dan menunjukkan keberadaannya secara fisik dan emosional. Dan, proses perubahan dimulai dari diri pemimpin, bagaimana pemimpin memimpin rapat, mengelola jadwal-jadwal dan membagi informasi;


5. Mempercayai tekanan Diri Sendiri. Merupakan hal yangmudak untuk tergoda akan kesuksesan. Setiap pemimpin menerima laporan yang baik dari lapangan. Kurangi berita-berita yang baik dan perhatikan keraguan yang ada pada diri pemimpin. Kesuksesan pribadi dan organisasi, keduanya berbahaya dan akan berlalu dengan cepat.


Sumber :
The Drucker Foundation, Ed. Frances Hesselbein and Rob Johnton, ON MISSION AND LEADERSHIP, Publisher : Jossey-Bass, 2002
You might also like:

* ON MISSION AND LEADERSHIP
* SETENGAH ISI SETENGAH KOSONG ( Half Full – Hal Empty)
* Anggota Yakuza Ada di Indonesia
* LASKAR IBLIS
THE POWER OF THE THINKING WITHOUT THINKING
Melihat kandidat tersebut masuk ke ruangan, segera saya berpikir,"Hm, dia bukan kandidat yang cocok untuk pekerjaan ini". Secara logika, saya bisa menjelaskan pikiran saya. Kandidat tersebut, seorang fresh graduate dari sebuah sekolah teknik ternama di Indonesia, berjalan masuk dengan kepala sedikit menunduk dan bahu sedikit membungkuk. Di momen itu saya langsung memberi penilaian kepadanya.

Interview dilanjutkan. Saya didampingi seorang staff senior dari departemen saya dan dua orang staff dari human resources department. Hanya sebentar saja interview dilakukan. Setelah kandidat tersebut keluar dari ruangan interview, kami saling membandingkan catatan kami. Walau ada beberapa kelebihan kandidat tersebut, tetapi kami memutuskan untuk memilih kandidat lain.

Buat saya sendiri, interview itu bisa dikatakan hampir berakhir di saat kandidat tersebut masuk. Tidak mudah bagi saya untuk mengubah penilaian awal saya. Kesan yang saya dapatkan darinya membuat saya berpikir bahwa dia kurang percaya diri, satu karakter yang dibutuhkan untuk posisi yang sedang kosong itu.

Keputusan sekejap mata inilah yang dibahas dengan menarik oleh Malcolm Gladwell dalam buku terbarunya Blink - The Power of Thinking without Thinking. Malcolm adalah juga pengarang buku best seller "The Tipping Point".

Dalam bukunya yang juga menjadi best seller ini, Malcolm memberikan banyak contoh tentang keputusan - keputusan yang diambil berdasarkan perasaan tertentu atau "hunch" seseorang. Hunch tersebut bisa jadi benar atau tidak. Tapi kenyataannya, sering kali keputusan kita diambil berdasarkan perasaan itu.

Salah satu contoh yang menarik adalah kisah tentang sebuah patung yang dibeli oleh museum Getty di Amerika. Patung yang dibeli dengan harga hampir 30 juta dollar Amerika tersebut disebut oleh penjualnya sebagai patung Yunani yang berumur ribuan tahun. Museum Getty memanggil seorang ahli geologi untuk meneliti patung tersebut berdasarkan bahan marmer yang digunakan. Melalui suatu penelitian yang saintifik, ahli geologi tersebut memutuskan bahwa patung tersebut telah berumur ribuan tahun. Museum Getty kemudian memamerkan patung tersebut pada seorang ahli yang kebetulan adalah anggota dewan museum tersebut.

Di sinilah saat "blink" tersebut terjadi. Saat melihat patung itu, ahli tersebut, Frederico Zeri, mendapati dirinya memperhatikan bentuk kuku jari patung itu. Tanpa tahu apa yang salah, Frederico merasakan adanya keanehan pada patung itu. Beberapa ahli lain yang kemudian mendapat kesempatan melihat patung tersebut juga mempunyai perasaan aneh yang mirip. Thomas Hoving, mantan direktur Metropolitan Museum or Art di New York, mengingat saat pertama kali melihat patung itu dia berkata,"It was 'fresh'". 'Fresh' tentunya bukan gambaran yang cocok untuk sebuah patung yang diduga berumur ribuan tahun.

Melalui investigasi diketahui ada berbagai keanehan yang berhubungan dengan kepemilikan patung tersebut sebelumnya. Sayangnya museum telah mengeluarkan jutaan dollar dan terlambat untuk mengubah keputusannya.

Para ahli yang merasakan keanehan saat melihat patung tersebut tidak dapat menjelaskan perasaan mereka. Mereka hanya tahu ada yang tidak sesuai dengan patung yang mereka lihat. Dan mereka mendapatkan perasaan ini hanya beberapa saat setelah mereka melihat patung itu.

Apakah ini berarti bahwa kita harus mempercayai intuisi kita dalam mengambil keputusan penting? Justru sebaliknya. Malcolm menyatakan bahwa kita harus berhati-hati dalam membuat keputusan yang berhubungan dengan hunch itu. Keputusan yang diambil berdasarkan 'hunch' ini bisa menyebabkan kesalahan yang sangat besar. Contohnya yang nyata terjadi dalam sistem demokrasi Amerika Serikat.

Di negara yang menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi utama di dunia, pemilihan presiden menjadi puncak dari pesta demokrasi. Di awal abad kedua puluh, Amerika Serikat memilih Warring Harding sebagai presiden mereka. Harding kemudian hari menjadi salah satu presiden terburuk dalam sejarah negara tersebut.

Mengapa rakyat AS saat itu memilih Harding? Malcolm menunjukkan bahwa tidak ada prestasi khusus yang diperoleh Harding dalam karirnya sebagai seorang politisi. Bahkan, dalam dua perdebatan yang penting saat itu, Harding tidak hadir. Tetapi seperti dituliskan seorang wartawan di masa itu, Harding mempunyai bentuk fisik yang sangat bagus. Bahkan sering kali kata "menyerupai orang Romawi" digunakan untuk menggambarkan kelebihan fisiknya. Cara berbicaranya yang menggunakan tone yang rendah juga menambah ketampanannya. Hal-hal inilah menurut pengarang buku yang menghipnotis para pemilih saat itu.

Sekedar intermezzo. Membaca bagian ini saya teringat dengan SBY. Beberapa tahun sebelum dia mengikuti pemilihan presiden, saya menonton sebuah wawancara dengannya. Saat itu saya berpikir,"Inilah presiden Indonesia berikutnya". Saya yakin, banyak orang yang berpikir sama jika melihat cara SBY berbicara dan mengungkapkan pikirannya. (Kita perlu menunggu untuk menilai keberhasilan SBY sebagai presiden).

Menurut Malcolm, agar dapat menggunakan intuisi ini sebaik-baiknya, kita harus melatih diri kita. Malcolm tidak menjelaskan secara detail latihan yang harus dilakukan untuk meningkatkan intuisi ini. Tetapi dalam bukunya diceritakan tentang beberapa orang yang telah melatih kemampuan mereka sedemikian rupa, sehingga mereka dapat menilai sesuatu secara tepat berdasarkan apa yang mereka rasakan.

Di sisi lain, Malcolm mengingatkan agar kita tidak terjebak dalam analisis yang terlalu luas. Sudah sering kita dengar adagium "paralysis by analysis". Dalam Blink diceritakan bagaimana Van Riper, seorang jenderal marinir, berhasil mengalahkan prajurit AS dalam simulasi perang terbesar di dunia. Simulasi yang dilakukan di awal abad ke-21 tersebut memberi kesempatan buat tentara AS untuk mencoba berbagai teknik pengambilan keputusan canggih yang belum pernah digunakan sebelumnya. Tetapi karena terjebak dalam prosedur dan kegiatan menganalisis data, mereka "kalah" berperang melawan prajurit Van Riper yang diberi ruang untuk berimprovisasi di lapangan.

Aplikasi hal ini tentunya sangat nyata dalam dunia kerja. Sering kali dalam mengambil suatu keputusan yang kritikal, kita terjebak untuk mengumpulkan data sebanyak-banyaknya. Dalam bukunya Blink, Malcolm menegaskan bahwa yang terpenting adalah menggunakan data-data yang diperlukan saja. Seperti para ahli seni yang memperhatikan bentuk kuku patung Yunani tersebut. Atau seperti ahli lain yang hanya memperhatikan ke-'segar'-an patung tersebut. Data yang terlalu banyak malah tidak akan menolong dalam mengambil keputusan. Dengan memperhatikan data-data yang penting saja, keputusan yang diambil akan lebih berarti.

Sumber : http://leadership-id.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar