Senin, 29 Agustus 2011

SITUS BUKIT CULA



PERADABAN batu yang berlangsung sejak 40.000 tahun lalu masih menyiratkan perjalanan panjang sejarah manusia. Batu merupakan sumber kekayaan alam yang tak pernah habis, meskipun secara terus-menerus dieksploitasi untuk berbagai kepentingan. Bahkan dari batu inilah timbul suatu peradaban di masyarakat purba yang dikenal dengan budaya batu.

Sisa-sisa peradaban batu inilah yang kemudian menyisakan berbagai tanggapan dan persepsi oleh sebagian masyarakat yang dikait-kaitan dengan kehidupan masa lampau. Sebagai contoh, ketika orang menemukan seonggok batu yang menyerupai benda-benda tertentu, maka secara serta merta muncul gambaran yang dikaitkan dengan apa yang pernah didengar tentang masa lalu, baik yang bersumber dari cerita turun-temurun, atau bahkan timbul idea untuk merentang kembali kisah-kisah lama.

Di Kecamatan Ciparay, tepatnya di Desa Gunungleutik terdapat sebuah situs yang dikenal dengan nama Situs Bukit Cula. Situs ini terletak tidak jauh dari Kadaleman yang nantinya akan dijadikan areal waduk untuk penampungan air irigasi.

Di areal Situs Bukit Cula ini, terdapat beragam bentuk batu yang telah memiliki nama masing-masing. Entah dari mana asal-usul nama tersebut. Tapi, masyarakat sekitar tetap memercayainya bahwa kemungkinan di sini sempat berdiri sebuah kekuasan mirip sebuah kerajaan. Tapi, tak seorang pun tahu makna dari nama-nama tersebut.

Penamaan Bukit Cula sendiri, tentu sangat ganjil. Sebab, tak ada sesuatu tanda yang mengarah kepada hubungan dengan binatang bercula. Batu-batu yang terdapat di situ, lebih mirip kebanyakan batu-batu biasa. Akan tetapi, jika menengok kembali kepada masa silam sekitar abad ke-17, mungkin akan sedikit terungkap mengenai asal-muasal nama Bukit Cula.

Pada masa itu, sempat dikabarkan bahwa selama pengungsian ke wilayah selatan dengan cara menyamar sebagai rakyat biasa, Dipati Ukur sempat melucuti pakaian kebesaran kadaleman untuk kemudian diganti dengan pakaian rakyat kebanyakan. Dan salah satu asesoris pakaian kebesarannya itu terselip sebuah benda pusaka berupa duhung yang bernama culanagara.

Konon, duhung pusaka tersebut merupakan warisan terakhir dari Raja Pajajaran, Prabu Suryakancana Sang Nusia Mulya sebagai sebuah amanat untuk menjaga dan mempertahankan tanjeur Panjajaran pasca-Pajajaran burak. Amanat itu memang sempat dijalankan manakala Dipati Ukur berhasil menguasai wilayah tatar Sunda sebagai wedana bupati menggantikan Rangga Gempol.

Saat bergerilya itulah, Dipati Ukur lebih memusatkan perjuangannya di Wilayah Ciparay dan sekitarnya di daerah selatan hingga wilayah Pangalengan. Tidak heran apabila jejak-jejak Dipati Ukur tersebar di wilayah ini.

Jejak-jejak peninggalan Dipati Ukur di wilayah ini lebih banyak berupa folklor yang hidup di kalangan masyarakat. Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.

Berdasarkan keterangan di atas, folklor peninggalan Jejak-jejak semasa perjuangan Dipati Ukur di wilayah kecamatan Ciparay ini, diantaranya terhimpun di kawasan Situs Bukit Cula, berupa bongkahan-bongkahan batu yang telah diberi nama, seperti Batu Ramogiling, Batu Palalangon, Batu Korsi, Batu Altar, Batu Korsi Oray Sinduk, Batu Tangkorak Monyet, Batu Bandera, dan Batu Undak Sindang Panon.

Selain terdapat penyebaran bongkahan batu dengan nama-nama unik, di kawasan Situs Bukit Cula ini, terdapat pula blok-blok lahan bernama Kadaleman, Leuit Salawe Jajar, Astana Gede, Cukang Irung, Sindang Reureuh, Pamoyanan, dan Pasarean Embah Sakti.

Nama-nama tersebut bila dikaitkan dengan konsep tata ruang pemerintahan tradisional, jelas memiliki keterkaitan makna. Seperti nama Leuit Salawe jajar, Kadaleman, Batu Korsi, Batu Palalangon, batu Bandera, adalah tidak lain merupakan konsep lima mandala dari tata ruang wilayah di dalam karaton, yaitu Sri Bima (Kadaleman) Punta (Pamoyanan) Narayana (Batu Palalangon), Madura (Sindang Reureuh) Suradipati (Leuit salawe Jajar).***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar